Desember 22, 2024

Nelayan Penyelam menggunakan Kompresor dan Snorkeling di Malimbu Lombok Utara Ditangkap, menuai banyak potensi konflik dikalangan masyarakat pesisir

6 min read

Oleh : Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI)

 

BALI, sempenanews.com-Respect, harus diakui bahwa, Menteri Kelautan dan Perikanan KKP menyadari paradigma penegakan hukum perikanan terhadap stakeholder. Terutama nelayan penyelam: yang menggunakan kompresor dan snorkeling.

Menteri KKP menyatakan; harus ada perubahan paradigma penegakan hukum dalam pelanggaran yang terjadi di sektor kelautan dan perikanan agar bentuk hukuman pemidanaan menjadi upaya terakhir.

Adapun hal itu, terkait pengawasan dan sanksi, terjadinya perubahan paradigma yang luar biasa dalam penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan,” kata Menteri Trenggono di Jakarta, Rabu pada pada media Nusadaily.com.

Menurut Trenggono, berbagai bentuk pengawasan dan sanksi yang selama ini berorientasi kepada pemidanaan disempurnakan dengan mengedepankan bentuk sanksi administratif. Pendekatan pembinaan terhadap pelaku pelanggaran terutama yang tidak memiliki niat jahat adalah upaya pembinaan agar pemidanaan kembali kepada khitahnya, sebagai ultimatum remedium dan sebagai upaya terakhir dari penegakan hukum.

Menarik dari pernyataan Menteri KKP tersebut. Pasalnya, studi kasus nelayan penyelam Lobster Pulau Bungin yang ditangkap dan langsung dipenjara di sel tahanan PSDKP Pangkalan Poto Tano Sumbawa Barat itu, menuai banyak potensi konflik dikalangan masyarakat pesisir.

Tetapi, untung saja.( Rusdianto Samawa – Red ) dan beberapa punggawa nelayan Lobster di Pulau Bungin beserta Kepala Desa Pulau Bungin turun tangan melakukan advokasi dan pendekatan persuasif. Karena, penangkapan oleh Pokmaswas Poto Tano itu membuat masyarakat pesisir bereaksi negatif terhadap pola penegakan hukum perikanan.

Tetapi, paradigma Menteri KKP tentang perubahan paradigma hukum itu, tidak menetes pemahamannya atau kebijakannya ke PSDKP. Pasalnya, PSDKP tetap ugal – ugalan dalam menggunakan prosedur hukum. Misalnya masalah terbaru sekarang, penangkapan terhadap nelayan Malimbu Lombok Utara.

Menurut data dari berbagai lembaga bantuan hukum kampus – kampus, seperti tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram) yang tergabung dalam koalisi pendapat yang menyatakan keberatan terhadap pola penegakan hukum PSDKP dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, bahwa PSDKP menangkap nelayan kecil Malimbu Lombok Utara dengan cara – cara tidak lazim. Bahkan dianggap ratusan nelayan terancam kehilangan mata pencaharian. Hal ini yang membuat nelayan sangat resah dengan sistem penegakan hukum oleh aparat.

Kronologis penangkapan nelayan Malimbu Lombok Utara tersebut, berdasarkan data wawancara yang dilakukan tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram 09 Nov 2021), bahwa nelayan yang bernama Amril Husen dengan 3 anggota nelayan dan Wirdani dengan 6 anggota nelayan. Mereka ditangkap oleh gabungan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Polisi Perairan dan Udara, TNI AL, Polsus Dinas Perikanan NTB, saat memanah ikan di laut.

Tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram) juga memastikan pada saat itu cuaca buruk. Rupanya, nelayan tanpa sadar terbawa arus hingga masuk ke Gili Matra, areal yang merupakan zona konservasi. Kapal nelayan digeledah, karena dicurigai membawa bom atau potas yang terlarang dan merusak karang.

Meski tidak ditemukan bukti bom dan potas, tetap dipaksa memilih ancaman pidana atau menandatangani surat penyerahan alat-alat secara sukarela. Akhirnya, mereka menandatangani penyerahan 1 kompresor, 1 rol selang sepanjang 150 meter, dan 3 buah dakor, sedangkan dari kapal WIrdani tersita 1 kompresor, 1 rol selang panjang 150 meter, dan 2 buah dakor.

Tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram) lakukan wawancara dengan sejumlah nelayan Malimbu pada 14 November 2021, bahwa pertama; menjatuhkan sanksi teguran kepada Amril dan Wirdani atas kesalahan yang dilakukan oleh Syamsudin. Padahal tidak ada satu pun nelayan bernama Syamsudin yang ditangkap saat itu. Kedua; Surat ditandatangani oleh Koordinator Satwa Lombok Timur, 12 November 2021.

Padahal locus kejadiannya di Kabupaten Lombok Utara. Ketiga; Nelayan juga tidak diberi salinan surat penyerahan barang nelayan tersebut, surat hanya dibacakan. Pihak PSDKP pun baru memberi salinan surat penyerahan barang nelayan seminggu setelah penyitaan barang, itu pun setelah diminta tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram).

Nelayan penyelam yang menggunakan kompresor dan snorkeling juga memiliki pemahaman prinsip hukum dalam upaya melindungi sumber daya kelautan dan perikanan.

Tentu, tidak berada pada posisi melakukan praktik pencurian ikan, lobster dan terumbu karang. Kalau PSDKP serta aparat gabungan operasi; tidak paham terhadap nelayan Malimbu yang “terbawa arus” sehingga masuk zona konservasi dan zona inti (zona terlarang untuk menangkap ikan atau biota laut apapun). Maka karena tidak paham itu, tentu dampak hukumnya diterapkan, tentu dengan metode tidak normal.

Legal standing nelayan penyelam yang menggunakan kompresor dan snorkeling memiliki hak untuk memakai alat penangkapan sebagai fasilitas kompressor sebagai alat bantu pernafasan sehingga tidak termasuk merusak. Tentu, dikatakan merusak apabila kompresor dan snorkeling itu dipakai pada pola penangkapan ikan yang merusak, seperti bom, potas dan cara lainnya.

Pemahaman ini, belum ketemu paradigma berfikirnya antara nelayan penyelam dengan kelompok pro lingkungan, pemerintah dan aparat penegak hukum: TNI AL, Polairut, Pokmaswas dan lembaga lainnya.

Padahal paradigma ilegal fishing, ketika terjadi pencurian ikan oleh kapal asing di laut Indonesia. Bukan, ilegal fishing kalau dilakukan oleh nelayan kecil Indonesia yang kategori kapal 0 – 10 Gross Ton. Justru, Destructive Fishing, apabila nelayan kecil itu menggunakan potasium dan bom atau cara menangkap yang menyebabkan kerusakan.

Nelayan juga berpendapat, bahwa semua praktik penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik tidak memiliki izin maupun praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan harus diawasi ketat sehingga nelayan dan pelaku usaha perikanan mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Yang dipandang perlu dipertimbangkan, regulasi pengawasan harus akseleratif terhadap realitas sosial masyarakat pesisir. Jelas, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang baik akan mempercepat akselerasi pembangunan. Bukan, sedikit-dikit melarang dan memenjarakan nelayan.

Kebijakan pengawasan itu, dapat mendorong pembangunan masyarakat pesisir yang harus pertimbangkan kegiatan sosial ekonomi nelayan: kompresor dan snorkeling. Maka, penataan zona ekonomi perikanan tangkap harus terukur dan memberi informasi kepada nelayan sehingga tidak ada potensi pelanggaran.

Kebijakan evaluasi terhadap beberapa regulasi yang dianggap kontra produktif terhadap nilai investasi, nilai ekonomi dan aktivitas kegiatan pada perikanan Tangkap harus dilakukan. Karena perlu ada penyesuaian pengawasan yang dilakukan.

Karena, masalah yang dihadapi nelayan yang menggunakan kompresor dan snorkeling terkait perizinan kapal-kapal tangkap juga. Bukan, hanya pada proses hukum yang sering mereka hadapi, ketika dikasuskan oleh aparat penegak hukum.

Memang, penting menjaga kelestarian sumber daya perikanan saat ini menjadi concern dan mengambil langkah tegas bila masih ada praktik penangkapan ikan tanpa dilengkapi izin maupun merusak sumber daya kelautan dan perikanan.

Berdasarkan data, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP selama 2021 telah menangkap 27 kapal perikanan. Yang terdiri dari tujuh Kapal Ikan Asing berbendera Malaysia dan 20 kapal ikan berbendera Indonesia.

Tentu, perspektif nelayan penyelam: kompresor dan snorkeling harus ada harmonisasi antara regulasi pusat dengan daerah supaya kedepan tidak ada lagi penangkapan dan justifikasi merusak bagi nelayan penyelam.

Terkadang, regulasi dipusat dan daerah menganggap kompresor dan snorkeling itu momok menakutkan. Karena dianggap merusak. Padahal logika kompresor dipakai, sejatinya untuk pernafasan dalam proses menyelam saat lakukan aktivitas penangkapan: Lobster Alam, Ikan, Gurita, Cumi-cumi.

Apabila kompresor masih dianggap bertentangan yang dipakai oleh nelayan lobster dan snorkeling nangkap ikan. Maka pemerintah harus ada solusi efektif dengan membuat resolusi kebijakan pembuatan tabung elpiji yang bisa bercabang untuk pernafasan penyelaman. Tentu terobosan tabung elpiji harus bergaransi efektif untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Pemerintah bisa melakukan pengadaan Ceamber (alat terapi) sebagai alat pemulihan tubuh penyelam bagi nelayan lobster yang nantinya bisa ditempatkan di seluruh rumah sakit – rumah sakit di wilayah perkotaan atau puskesmas pedesaan.

Kompresor hanya sebagai alat pernafasan ketika menyelam. Selama ini kompresor yang dipakai nelayan menjustifikasi merusak sumberdaya kelautan dan perikanan. Maka, karena itu untuk menjaga nilai ekonomi, investasi dan perdagangan hasil kelautan dan perikanan NTB. Mestinya, kompresor tetap dilegalkan dengan syarat pengawasan yang ketat dan efektif.

Ceamber: Solusi Emergency

Ceamber merupakan alat terapi oksigen hiperbarik. Terapi ini sala satu metode efektif dalam pengobatan yang dilakukan oleh nelayan penyelam: kompresor dan snorkeling. Tentu, caranya memberikan oksigen murni di dalam ruangan khusus bertekanan udara tinggi, untuk dihirup pasien.

Apabila, nelayan penyelam dapat melakukan terapi oksigen hiperbarik diruangan khusus yang dapat tingkatkan tekanan udara hingga tiga kali tekanan atmosfer normal dalam tubuh sehingga nelayan penyelam menyerap oksigen lebih banyak dari biasanya, sehingga dapat membantu penyembuhan berbagai penyakit. Hal itu dilakukan setelah melakukan penyelaman.

Menurut dr. Tjin Willy (2018) dalam artikelnya, bahwa; bagi nelayan penyelam, alat ceamber ini sebagai sebuah prinsip, perbaikan, pemulihan dan penyembuhan sehingga dapat perbaiki jaringan yang rusak dengan meningkatkan aliran oksigen ke jaringan tubuh sehingga menyebabkan darah menyerap oksigen lebih banyak akibat peningkatan tekanan oksigen di dalam paru-paru yang dimanipulasi oleh ruangan hiperbarik. Konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dari normal, tubuh akan terpicu untuk perbaiki jaringan yang rusak lebih cepat dari biasanya.

Nelayan penyelam: kompresor dan snorkeling sering kena penyakit dekompresi yang disebabkan aliran darah di dalam tubuh terhambat, dikarenakan perubahan tekanan udara. Perubahan tekanan ini dapat terjadi akibat menyelam sehingga terjadinya perubahan tekanan udara secara drastis.

Pemerintah bisa melakukan pengadaan Ceamber sebagai alat pemulihan tubuh penyelam bagi nelayan lobster yang nantinya bisa ditempatkan di seluruh rumah sakit – rumah sakit di wilayah sentral nelayan penyelam: kompresor dan snorkeling.

Perlu dijelaskan kepada masyarakat Indonesia secara rigit dan detail dalam perspektif sisi bidang apapun, bahwa penggunaan kompresor dan snorkeling tidak bertentangan dengan hukum dan alam lingkungan. Boleh saja orang katakan: “perjuangkan hak-hak nelayan yang bertentangan dengan UU dan peraturan. Dianggap Ekstrim.
(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *