Diklat Banser di Pondok Pesantren Al Kautsar : Proses Panjang Menuju Kesetiaan dan Pengorbanan
3 min readTANJUNGPINANG,sempenanews.com-Pada Minggu pagi yang cerah dengan sesekali hujan gerimis turun, suasana di lapangan Pondok Pesantren Modern Al Kautsar begitu khidmat. Para peserta Diklat Terpadu Dasar (DTD) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) angkatan ke-II, kembali berkumpul untuk menjalani prosesi puncak kegiatan mereka. Mengenakan seragam kebanggaan yang kelak akan mereka kenakan dengan penuh kebanggaan, para calon anggota Banser Kota Tanjungpinang menjalani momen sakral: baiat menjadi Banser sejati.
Pada Upacara tersebut bukan sekadar seremonial, melainkan menjadi puncak dari seluruh pengorbanan yang telah mereka jalani selama beberapa hari terakhir. Di hadapan bendera merah putih, pataka NU, Banser, dan Ansor, para calon anggota dengan penuh kesungguhan mengucapkan sumpah mereka. Dalam prosesi itu, mereka dimandikan dengan air bunga oleh para kiai NU, simbol pengukuhan untuk menjadi pengawal ulama dan kiai dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Wajah-wajah mereka tampak terharu, bahkan beberapa peserta tak kuasa menahan tangis saat prosesi ini berlangsung, terutama saat memeluk para komandan dan pelatih yang telah menemani perjuangan mereka.
“Tangis Bahagia dalam Baiat Banser”
Regar, salah satu peserta diklat, menceritakan pengalaman emosionalnya. “Baru kali ini saya menangis terharu saat dibaiat jadi anggota Banser. Saya akan selalu ingat ajaran para komandan selama diklat ini, semoga bisa menjadi semangat saya untuk berkhidmat di NU,” ucapnya sembari mengenang momen-momen kebersamaan yang kini tinggal kenangan.
Tak hanya Regar, peserta lain, Moch Dofar yang sudah berusia setengah abad, turut merasakan hal serupa. Menjadi anggota Banser bukanlah hal mudah. “Saya tidak menyangka pendidikan ini begitu berat. Semua harus serba kompak, dan satu kesalahan kecil bisa membuat kami semua kena hukuman fisik,” cerita Dofar. “Namun, dari situ kami belajar nilai kebersamaan dan tanggung jawab.”
“Perjuangan untuk Mengenakan Seragam Loreng Banser”
Pendidikan selama diklat Banser bukan hanya soal belajar baris-berbaris, tetapi menguji mental dan fisik peserta. Di malam terakhir, seluruh peserta diarahkan melewati parit berlumpur dalam kondisi tubuh lelah dan kurang tidur. Rintangan demi rintangan mereka hadapi, menguji nyali dan kesetiaan mereka kepada organisasi ini. “Ini pengalaman pertama saya dan rasanya sangat berat. Namun, di situlah letak kebanggaan kami untuk bisa mengenakan seragam PDL Banser,” tambah Dofar dengan senyum penuh rasa puas.
Baginya dan rekan-rekannya, seragam loreng Banser bukan sekadar pakaian, tetapi simbol perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian kepada agama, bangsa, dan NU. Tiga hari yang mereka habiskan di barak pelatihan terasa seperti perjalanan panjang yang penuh kenangan. Semangat mereka, meski penuh lelah, justru makin terpupuk dengan keikhlasan untuk berkhidmat.
“Panggilan Jiwa untuk Berkhidmat”
Proses pendidikan ini, kata para peserta, bukanlah jalan mudah, melainkan panggilan jiwa dan hati yang tulus. “Kami bangga jadi anggota Banser, ini adalah panggilan hati yang tidak semua orang bisa rasakan,” ucap Dofar.
Ketika pagi menjelang, momen baiat menjadi penanda resmi perjuangan mereka berbuah manis. Ditarik dari pelukan rekan seperjuangan, mereka mengucap janji setia di depan para kiai, satu per satu dinyatakan lolos sebagai anggota Banser sejati.
“Seumur hidup saya tak akan melupakan saat dibaiat oleh kiai,” tutup Dofar. Bagi mereka, perjalanan ini lebih dari sekadar diklat; ini adalah awal pengabdian, pengorbanan, dan kesetiaan yang tulus di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Penulis : Red